Notifikasi

Memuat…

DIMANA SEBENARNYA PURA KAWITAN BALI MULA?

 

PURA KAWITAN BALI MULA

PURA KAWITAN BALI MULA

Beberapa orang bingung cari Kawitan sebab pada jaman Bali Kuna tidak ada penyembahan Tuhan lewat Bhatara Hyang Kawitan. Stelah kekalahannya Bali pemerintah digenggam oleh Dalam Baturenggong dengan ditolong Danghyang Nirarta yang dikasih gelar Pedanda sakti Wawu Rauh baru ada penyembahan Kawitan. Jadi orang2 Bali Mula yang telah berada di Bali saat sebelum masuknya Dh Nirarta jadi bingung untuk mencari jejak2 nenek moyang mereka yang telah ada saat sebelum masuknya Dh Nirarrta. Pertanyaannya, di mana kawitan dan padharmanya beberapa raja dan beberapa ksatria Bali Kuna itu?

Hingga banyak warga Bali Mula contoh: Kubayan, Dusun, Karang Buncing, Terampil, Bandesa, dimasukkan pada soroh Pasek, walau sebenarnya Kubayan itu ialah kedudukan rohaniawan dusun Bali Kuna saat sebelum masuknya Hindu ke Bali. Dusun ialah turunan raja2 Bali Kuno yang dikasih gelar kependetaan oleh Danghyang Nirartta yang dikasih panggilan Pedanda Sakti Wawurawuh. Banyak pro-kontra berkenaan riwayat Bali ini yang penting dilempengkan. Catur Lawa (Dusun, Pasek, Pande, Penyarikan) itu bukan soroh atau barisan masyarakat. Catur Lawa itu ialah 4 barisan pekerjaan yang menolong kelancaran jalannya upacara yang berada di Pr Penataran Besakih. Dusun yang memiliki pekerjaan sisi lambang suci Tuhan atau yang "muput" upakara, Penyarikan memiliki pekerjaan sisi administrasi, Pande dan Pasek memiliki pekerjaan membuat fasilitas dan prasarana yang lain misalkan, membuat tempat pemiosan, menatah logam, dan rangka yang lain.

Jadi di mana Kawitan dan Pedharmar warga Bali Mula itu ??

Memuja Tuhan Lewat Pura Kawitan (Stana Nenek moyang Yang Disucikan), Medium Paling dekat Di antara Manusia Dengan Tuhan/ Hyang Widhi

Pendiskreditan Kerajaan Badhahulu yang tercatat sejauh ini jadi Beda Hilir (berbeda dengan pusat/Majapahit) dan Beda Muka (raja berkepala babi) oleh beberapa penekun sastra dan beberapa sejarawan, bawa imbas ketidaktahuan untuk angkatan muda Hindu yang berada di Bali, dalam meng-AJeg-kan agama dan budaya Hindu dari nyaris kemusnahan sesudah jatuhnya kerajaan Majapahit oleh Sultan Demak yang beragama Islam pada awal era ke 16. Dengan menyatunya Hindu Majapahit dengan Hindu Bali yang dimediasi oleh Danghyang Nirartta selanjutnya dikasih gelar Peranda Sakti Wawu Rauh ialah satu keuntungan untuk memperkokoh kembali agama dan budaya Hindu yang pernah berjaya di bumi Nusantara ini di awal tarikh masehi.

Dalam kitab Nagara Kretagama oleh Slamet Mulyana, pupuh nomor 14 dan 79, Negara Kertagama oleh Megandaru W. Kawuryan (2006:184), dan salinan lontar Piagem Dusun Gamongan, punya Ida Pedanda Gede Jelantik Sugata, Griya Tegeh Budakeling, diubah aksara oleh I Wayan Gede Bargawa, halaman 12, dengan jelas tercatat Badhahulu.

Tetapi beberapa pindah aksara dan penterjemah lain, menyengaja menukar huruf "a" awalnya ditukar dengan huruf "e", hingga memunculkan beda makna dari beberapa pembaca (Riana, 2009:100,377). Jika bisa dirinci kata per kata dalam kalimat. Kata Badhahulu berawal dari bahasa Jawa-Kuno, dari urat kata badha dan hilir. Badha berarti tempat, rumah, istana. Hilir berarti kepala, raja, pusat pemerintah. Jadi Badhahulu ialah istana raja, pusat pemerintah, namanya kerajaan Badhahulu dengan rajanya bertitel Sri Astasura Ratna Bumi Banten (Asta=delapan, Sura=dewa, Ratna=permata, Bumi Banten=Tanah Bali) berarti raja yang mengepalai delapan daerah kekuasaan pemeritahan di jagat Bali pada zaman itu, yaitu; Jimbaran, Badung, Tabanan, Buleleng, Bangli, Karangasem, Kelungkung, Mengwi (Narendra Dev Pandit Shastri, Riwayat Bali Dwipa, 1963).

Dalam Salinan lontar Piagem Dusun Gamongan, mengatakan secara tersurat, Badhahulu berarti, karena itu hilir hulu banda dusun sajagat Bangsul makna bebas, selaku kepala/pusat pemerintah dari tiap-tiap kades yang berada di bumi Bali pada jaman itu.

Dalam salinan lontar Piagem Dusun Gamongan, Purana Bali Dwipa, Mandala Rekreasi Samuan Tiga, Blahbatuh, Gianyar, dan Usana Bali, secara keras mengatakan jika pusat kraton raja patih Sri Jaya Katong, Raja Masula-Masuli sampai Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten berada di wilayah Batahanar (istana baru) yang diperhitungkan selanjutnya jadi nama Kabupaten Gianyar. Di Batahanar saat ini tempat ini berdiri satu pura bernama Pura Samuan Tiga di Dusun Bedulu, Gianyar. Beberapa orang dari Jawa menyebutkan Badhahulu peluang beliau tidak paham nama dusun tempat kerajaan Astasura Ratna Bumi Banten, Raja akhir Bali Kuno pada waktu itu.

Dalam prasasti-prasasti Bali Kuno tidak diketemukan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dengan maha patih kerajaan bertitel Kebo Iwa berbeda memahami (Bedahulu) dengan kerajaan Majapahit dengan maha patih kerajaan bertitel Gajah Mada. Secara akal sehat, andaikan benar-benar kerajaan Badhahulu berbeda memahami dengan kerajaan Majapahit, mungkinkah Kebo Iwa ingin tiba ke Jawa? Prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, secara administratif Senapati (mahapatih) kerajaan Batahanar pada zaman itu ialah Senapati Kuturan Makakasir Mabasa Sinom (prasasti Langgahan Caka 1259/1337 Masehi). Pola riwayat Sri Karang Buncing, Sri Kbo Iwa misan mindon dengan Sri Astasura Ratna Bumi Banten berawal dari turunan Sri Maha Sidhimantradewa. Sri Kbo Iwa tapeng dada kerajaan Batahanar yang mewilayahi Blahbatuh, dusun terdekat dengan pusat pemerintah, selain di tolong oleh beberapa senapati Bali yang lain.

Dalam pamancangah dari Bali, sesudah meninggal dunianya Mahapatih Kebo Iwa yang terkena pangindra jaring (jebakan) oleh Mahapatih Gajah Mada, pada akhirnya di tahun 1343 beberapa Arya Majapahit menyerbu pulau Bali, yang pada waktu itu dijaga oleh beberapa patih kerajaan Bhadahulu diantaranya, Ki Pasung Grigis di Tengkulak, Sang Gudug Basur di Batur, Sang Saat Gemet di Terampil, Sang Girimana di Ularan, Sang Tunjung Papar di Tenganan, Sang Tunjung Biru di Tianyar, Ki Tambyak di Jimbaran, Ki Bwahan di Batur, Ki Kopang di Sambil, Ki Walung Singkal di Taro, Ki Agung Pemacekan selaku Demung ….

Serangan terdiri jadi tiga arah yang di bawah pimpinan Mahapatih Gajahmada ke arah daerah Bali Timur ditolong oleh beberapa Patih dan beberapa Arya yang lain landing di Tianyar. Arya Damar dan Arya Sentong, Arya Kutawaringin landing di Bali Utara. Dan Arya Kencang, Arya Belog, Arya Pangalasan, Arya Kanuruhan, landing di pantai Bali Selatan dan ke arah Kuta. Tidak diutarakan dahsyatnya pertarungan pada ke-3 daerah tesebut.

Periode peralihan pemerintah dari kerajaan Bhadahulu ke kerajaan Majapahit, dari tahun 1343 sampai tahun 1352 masih berlangsung perlawanan atau mungkin dengan kata lain beberapa orang Bali Kuno masih lakukan perlawanan. Sepanjang sembilan tahun periode peralihan pemerintah berlangsung 30 kali pembrontakan yang menebar di Pulau Bali. Untuk mengatasi atau isi kekosongan pemerintah sepanjang belum dipilih raja baru yakni Sri Kresna Kepakisan, karena itu diangkatlah seorang dan dikasih anugrah kedudukan Kyayi Agung Pasek Gelgel. Sebagai pertanyaan, siapakah Kyayi Agung Pasek Gelgel? Mungkinkah beliau berawal dari Jawa untuk mengatasi konflik di antara Bali dan Majapahit? Dalam Kamus Jawa-Kuno oleh Zoetmulder (1995:786), kata Pasek bermakna, pemberian, anugrah, hadiah. Andaikan Kyayi Agung Pasek Gelgel itu berawal dari Jawa seharusnya beliau disebutkan Arya. Sebab beliau berperanan penting jadi pimpinan dalam mengatasi perselisihan peralihan pemerintah akhir Bali Kuno. Sesudah hadirnya Danghyang Nirartta, panggilan Arya dikenali jadi Gusti dan berbeda panggilan sesudah hadirnya penjajahan Belanda.

Adanya ide penyembahan Tuhan lewat Bhatara Hyang Kawitan hingga banyak beberapa orang Bali-Mula masuk ke satu garis turunan Masyarakat Pasek, misalkan: kubahyan, terampil, bendesa, karang buncing dan masyarakat Bali Mula yang lain. Masyarakat Bali Mula yang dibutuhkan wibawanya dalam jaga kestabilan pemerintah yang baru disebutkan arya misalkan, Sri Giri Ularan putra dari Sri Rigis jadi mahapatih (senapati) di kerajaan Dalam Baturenggong jadi Arya Ularan (Gusti Ularan), Turunan Sri Karang Buncing jadi Arya Karang Buncing, Gusti Karang Buncing. Sri Rigis jadi Arya Rigis, Sri Pasung Giri jadi Arya Pasung Giri, Sang Tunjung Papar jadi Arya Tunjung Papar, Sang Tunjung Biru jadi Arya Tunjung Biru.

Pertanyaan yang lain, apa interelasi religius di antara Gotra Pasek (Kyayi Agung Pasek Gelgel) dengan Catur Lawa yakni 4 (empat) barisan pekerjaan yang bertanggungjawab pada kelancaran upacara di Pura Penataran Besakih yakni Dusun, Pasek, Pande, Penyarikan, mungkinkah beliau-beliau ini turunan Bali Kuno. Pada zaman itu mekanisme pemerintah dipastikan oleh peranan (talenta) dan pekerjaan seorang bukan dipastikan oleh kelahirannya seperti pada mekanisme soroh (klen, kelas). Di mana penyiapan upacara dan upakara akan dikerjakan di tempat di pura mana akan diselenggarakan pujawali, ada sisi yang mengurusi mengenai surat menyurat, sisi peralatan upakara, sisi yang berkuasa mengenai lambang suci Tuhan atau pendeta yang pimpin upacara dan sisi yang lain. Pasek dalam masalah ini bukan satu treh, soroh, gotra, wangsa, klen (barisan masyarakat). Pasek ialah satu arti, kedudukan atau sisi yang bekerja menolong menyukseskan jalannya upakara dan upacara yang berada di Pura Penataran Besakih. Pura Pande membenahi semua perlengkapannya yang dibuat dari benda logam dan kerangka perlengkapan lain. Pura Penyarikan bekerja membenahi semua keperluan tata usaha administrasi supaya segala hal berjalan secara teratur (Gobyah, I Ketut. Bali Post 30 April 2008).

Pada sebuah barisan seksi/pekerjaan pasti anggotanya terbagi dalam sebagian orang yang bisa berawal dari barisan masyarakat lain. Arti Dusun berawal dari turunan Dusun Gamongan dari Dusun Gamongan, Tiyingtali, Karangasem, yang melahirkan beberapa Dusun yang berada di jagat Bali. Selanjutnya ditekankan kembali oleh Danghyang Nirarta ialah satu anugrah gelar Dusun (pendeta) yang diberi untuk masyarakat Bali-Mula dan Bali Kuno, meskipun dari turunan wangsa apa saja mereka. Dusun ialah satu kedudukan yang bekerja selaku pimpinan upacara keagamaan di Pura Besakih.

Menjadi pendeta Dusun yang pimpin upacara dan upakara di Bali pada zaman itu, saat sebelum hadirnya beberapa Brahmana Majapahit dari Jawa. Pada jaman Gelgel tiba ke Bali dua pendeta Siwa dan Buddha dari Majapahit adalah Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka perkuat jalinan Majapahit dan Bali. Pada saat itu dibangun pedharman Raja/Dalam Samprangan dan Dalam Gelgel berbentuk meru-meru berada ada di belakang Pura Catur Lawa.

Tentu saja pendirian pedharman-pedharman itu lewat nyadnya craddha. Dr. Martha A. Muuses mengidentifikasikan yadnya craddha dengan upacara mamukur di Bali yakni upacara kembalikan atma ke elemen aslinya yaitu Paratma. Dengan begitu Pura Catur Lawa adalah kelompok beberapa orang Bali Mula yang mendapatkan pekerjaan selaku cikal akan untuk ngamong (bertanggungjawab) pada kelancaran upacara di Pura Penataran Besakih, lambang stana suci ida bhatara gunung Agung/Tolangkir. Pura Besakih adalah simbol satu kesatuan di antara Hindu Bali dan Hindu Majapahit.

Sesudah kekalahannya kerajaan Badhahulu oleh kerajaan Majapahit, berlangsung dua aplikasi relegi yang diyakini oleh warga Bali waktu sekarang, yakni ada beberapa masyarakat atau dusun yang mengikut relegi riwayat Bali Kuno, dan ada beberapa masyarakat atau dusun yang mengikut relegi riwayat Majapahit, bahkan juga warga dapat jalani ke-2 ide itu, mengikut ketentuan beberapa pimpinan yang berkuasa pada waktu itu. Berikut komparasi di antara, yakni ada Sugiyan Jawa dan Sugiyan Bali. Dalam Usana Jawa mengatakan, tersisa tentara Majapahit yang hidup dan tinggal di Bali, telah memiliki anak cucu, sama-sama kawin memasangkan bercampur, silih pinang menyunting di antara wanita Bali, tetapi ada sinyal pertanda, bila tiap hari raya: Kamis Wage Sungsang yang disebutkan Sugiyan Jawa, rakyat Majapahit yang memiliki sisi mengadakan yadnya. Bila tiap hari Jumat Kliwon Sungsang yang disebutkan Sugiyan Bali, rakyat Bali asli yang memiliki sisi mengadakan yadnya. ada tonggak piodalan yang satu mengikut sasih (bulan) dan yang satu kembali mengikut wuku (minggu). Acara pamelastian yang satu mengikut sasih ka sanga (bulan ke 9) dan satu kembali mengikut sasih ka dasa (bulan ke 10). Selain hari penyepian di sawah, di segara, di tegalan, di pura, ada ketidaksamaan sesuai dresta dusun, saat, patra di tempat. pada acara resi yadnya padiksan dalam legitimasi seorang pendeta, yang satu mengikut lewat napak wakul bhatara kawitan, dan satu kembali mengikut napak kaki guru nabe.

Sejak itu perlahan berlangsung pengaturan pemerintah yang baru, bagus di dalam sektor agama, sosial, politik, ekonomi, atau kesusastraan, dan yang lain dalam menjadikan satu memahami Bali Kuno dengan memahami Majapahit. Yang dahulunya seorang pendeta sebagai wakil sekte/agama yang diyakini, meskipun dari barisan turunan mana juga beliau, misalnya; dang acharya panggilan pendeta sekte Siwa, dang upadhyaya gelar pendeta untuk sekte Budha, Rsi Bhujangga gelar pendeta sekte Waisnawa, Pitamaha gelar pendeta sekte Brahma, Bhagawan gelar pendeta sekte Bhairawa, dan lain-lain. Saat ini semasing barisan masyarakat diberi gelar pendeta dan identitas sosial lain di kehidupan bermasyarakat, misalkan: Dusun gelar pendeta untuk masyarakat Bali Kuno, Ida Pedanda gelar pendeta untuk masyarakat Ida Bagus, Sri Mpu gelar pendeta untuk masyarakat Pasek, Rsi Bhagawan gelar pendeta untuk masyarakat beberapa Gusti, Rsi Bujangga gelar pendeta untuk masyarakat Sengguhu, Sira Mpu gelar pendeta untuk masyarakat Pande, dan sebagainya, komplet dengan ketentuan atiwa-tiwa/pitra yadnya dan atribut yang lain. Pertanyaannya ialah mengikut memahami mana pendeta beberapa gotra (barisan masyarakat) itu, apa mengikut memahami Siwa, Boddha, Waisnawa, Bhairawa, Sora, Sakta, Sambu, Rsi atau lainnya?

Beberapa Arya Majapahit yang sudah berjasa di dalam mengalahkan rakyat Bali, lalu dicandikan di satu tempat untuk memuja arwah nenek moyang yang sudah suci yang berada di Jawa selaku penghayatan atau medium paling dekat dengan nenek moyang disebutkan Pura Kawitan (stana suci beberapa nenek moyang). Dalam Kamus Bali-Indonesia (Team : 801) mengatakan kata Kawitan berarti nenek moyang, asal-usul (masyarakat, wangsa, treh, gotra).

Dengan timbulnya ide pengaturan penyembahan lewat Bhatara Hyang Kawitan hingga bawa imbas ketidaktahuan untuk warga Bali Mula untuk mencari jejak-jejak beberapa nenek moyang mereka yang telah ada saat sebelum hadirnya si konseptor Danghyang Nirartta dari Jawa. Beberapa Raja dan Ksatria Bali kuno, dan kedudukan pemerintahan bawahan seperti; beberapa senapati, beberapa pendeta, samgat, caksu, kubayan, Sang Tunjung Biru, Sang Kalung Singkal, Ki Tambyak, Ki Tunjung Papar, Ki Kopang, Ki Bwahan, Sang Pangeran Terampil, Ki Pasung Grigis, dan nenek moyang warga Bali Aga dan Bali Mula lainnya, di saat sekarang di mana Pura Kawitan beliau-beliau itu? Dan di mana Padharman beliau-beliau itu?

Adanya reformasi pemerintah oleh Raja Dalam Baturenggong dengan ditolong pendeta kerajaan Danghyang Nirartta memiliki ide yang paling berkilau sekali menjadikan satu masyarakat supaya tidak tercerai berai berpindah ke agama/sekte/memahami lain. Yakni dengan ide memuja Tuhan lewat Bhatara Hyang Kawitan. Sesuai sloka Taittiriya Upanisad mengatakan: "Seorang ibu ialah dewa, seorang bapak ialah dewa, seorang guru ialah dewa, dan beberapa tamu juga ialah dewa". Dengan begitu secara empiris, turunanya akan memuja Tuhan ‘lewat' arwah suci bapak dan ibu, kakek nenek, nenek moyang dan sebagainya, yang selanjutnya akan sampailah pada Beliau/Tuhan.

Beberapa nenek moyang cuman hanya melihat dan ‘mengantarkan' doa, tujuan, dan arah ke Tuhan atau ke dewa yang perlu dikatakan oleh beberapa nenek moyang kita.

Beberapa nenek moyang ialah asal mula kita selaku manusia. Sejak masih janin dalam kandung Ibu, kita telah tersambung dengan-Nya (ibu) yakni lewat tali pusar (ari-ari). Tali pusar medium penyambung kehidupan dalam kandung di antara si janin dengan si ibu.

Dalam implementasi keagamaan setiap hari ‘mungkin' ari-ari (tali pusar) ini dilambangkan jadi selempot (senteng), sebab terus menempel tutupi tali pusar umat Hindu di Bali dalam tiap menghadap-Nya Kecuali selaku pengikat panca budhiindria dan panca karmenindria, lambang mengungkung sepuluh lobang yang ada pada badan di saat seorang berkeinginan lakukan puja dan puji pada Tuhan/Hyang Widhi. Meskipun seorang menggunakan celana panjang bila telah menggunakan senteng/selempot akan diizinkan masuk di pura. Senteng/selempot hanya satu lambang dan atau satu ketentuan. Tidakkah satu lambang memiliki kandungan arti spesifik dibalik simbol-simbol itu. Sama dengan seorang harus mempunyai KTP, Passport, dan identitas lain selaku lambang alternatif dari seorang bila pengin mengenali identitas lebih komplet mengenai dianya. Demikian pula dengan senteng (selempot) yang memiliki kandungan arti selaku penyambung ke beberapa nenek moyang masyarakat, dan beberapa nenek moyang akan mem-bahasa-kan doa, tujuan, dan upacara umat ke Tuhan/Hyang Widhi. Sebenarnya kita tidak paham bahasa apa yang digunakan oleh beberapa dewa dalam berbicara di antara dewa dan dewa tersebut.

Baca Juga
Posting Komentar