Pura Gede Pulaki Singaraja bali
Pura Gede Pulaki
Pura Pulaki, Tempat Suci Warisan Prasejarah
Susah ditampik, lingkungan Pura Pulaki ialah satu teritori suci yang dapat disebutkan benar-benar prima. Kecuali mempunyai panorama alam mengagumkan, aura spiritual dan kesucian yang berpendar di teritori pura dan sekelilingnya akan berasa terang, seolah masuk di selang pori-pori kulit. Beberapa umat yang sempat sembahyang ke pura itu bahkan juga sering akui bulu tipis di lehernya kadang-kadang akan tegak. Kemungkinan sebab kagum yang terlalu berlebih pada keelokan alamnya atau sangat berkesan pada aura spiritual yang dirasanya.
Pura Pulaki berdiri di atas tebing berbatu langsung menghadap ke laut. Di latar belakangnya terhampar bukit curam yang berbatu yang cuman sesekali saja terlihat hijau waktu musim penghujan. Pura ini terlihat berwibawa, tegar dan agung, oleh sebab berdiri di lokasi yang teramat susah. Apa lagi panorama yang diperlihatkan demikian menarik. Bila berdiri dalam pura lalu melihat di depan, tidak cuma laut yang akan terlihat tetapi segugus bukit kecil di samping baratnya yang berupa tanjung. Kera-kera yang hidup di seputar pura ini, walau berkesan galak, membuat daya magnet tertentu.
Pura Pulaki berada di Dusun Banyupoh Kecamatan Gerokgak, Buleleng, seputar 53 km di samping barat kota Singaraja. Pura ini berada di tepi jalan raya jalur Singaraja-Gilimanuk, hingga umat Hindu akan berkunjung untuk bersembahyang bila kebenaran melalui dari Gilimanuk ke Singaraja atau kebalikannya. Tetapi bila pengin bersembahyang secara ramai-ramai, umat dapat tiba waktu diadakan serangkaian piodalan yang diawali pada Purnama Sasih Kapat. Riwayat Pura Pulaki benar-benar tidak dapat diterangkan secara pas. Tetapi, dari bermacam potongan data yang ketinggalan, riwayat pura itu minimal dapat dirunut dari jaman prasejarah.
Ketua Barisan Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba menjelaskan, bila merujuk pada mekanisme keyakinan yang biasa berlaku di Nusantara — semenjak jaman prasejarah gunung selalu dipandang tempat suci dan jadi stana beberapa dewa dan tempat suci beberapa arwah leluhur — karena itu diprediksi Pura Pulaki telah berdiri semenjak jaman prasejarah. Ini memeriksa pada ide penyembahan Dewa Gunung, yang disebut satu ciri-ciri warga prasejarah. Selaku tempat sarana penyembahan umumnya dibikin tempat penyembahan berundak-undak. Makin tinggi undakannya, karena itu nilai kesuciannya makin tinggi. "Seperti Berpura-pura di jejeran pegunungan dari barat ke timur di Pulau Bali ini," kata Simba.
Di teritori Pura Pulaki, di seputar Pura Melanting, seputar 1987 diketemukan beberapa alat perkakas yang dibikin dari batu, diantaranya berupa batu picisan, berupa kapak dan beberapa alat lain. Berdasarkan hal tersebut, dan disaksikan dari tatanan letak dan susunan pura, karena itu bisa diperhitungkan background pendirian Pura Pulaki awalannya terkait dengan fasilitas penyembahan warga prasejarah yang berupa bangunan berundak.
Di lain sisi, disaksikan dari letak Pura Pulaki yang berada di Teluk Pulaki dan mempunyai beberapa sumber mata air tawar, karena itu teritori ini diperhitungkan telah dikunjungi manusia semenjak beratus-ratus tahun kemarin. Teritori Pulaki jadi lumayan ramai didatangi oleh perahu dagang yang membutuhkan air selaku bahan yang paling dibutuhkan dalam pelayaran ke arah Jawa atau ke Maluku. Bahkan juga, peluangnya pada saat itu telah ada berlaku perdagangan berbentuk barter. Barang yang peluang dibuat dari teritori Pulaki ialah gula dari nira lontar. Ini didasari sampai sekarang masih diketemukan tanaman lontar di sejauh pantai dari Gilimanuk ke timur, terhitung Pulaki.
Dari paparan itu, kata Simba, bisa diperhitungkan Pulaki telah ada semenjak jaman prasejarah, baik terkait dengan tempat suci, atau selaku tempat rutinitas yang lain. Ini bersambung sampai kejadian serangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang diatur Ketut Ginarsa tercatat jika pasukan Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris ke arah desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki dan Wangaya.
Menurut Simba, Pulaki sempat juga jadi pusat peningkatan agama Hindu sekte Waisnawa seputar 1380 Masehi seperti tercantum dalam buku "Bhuwana Tatwa Maharesi Markandeya" formasi Ketut Ginarsa.
Data yang lain menyebutkan mengenai Pulaki ada dalam buku "Dwijendra Tatwa" karangan Gusti Bagus Sugriwa. Di sana ada tercatat, "Baik adikku, diam di sini saja, bersama dengan putri kita Ni Swabawa. Dia telah suci jadi Batara Dalam Melanting dan adinda bisa jadi Batara Dalam Ketut yang akan dijunjung dan disembah beberapa orang di sini yang akan kanda pralinakan supaya tidak terlihat oleh manusia biasa. Semuanya jadi orang lembut. Wilayah dusun ini selanjutnya namanya Pulaki."
Data lain mengenai Pulaki ialah ditemukan potongan candi yang memiliki bentuk seperti candi yang berada di Kerajaan Kediri. Diketemukan di Pura Belatungan tahun 1987. Dari data itu, karena itu simpulannya kehadiran Pura Pulaki selaku satu tempat suci telah ada semenjak jaman prasejarah dan lenyap sesudah kedatangan Dang Hyang Nirarta dengan kejadian dipralinakannya Pura Pulaki seputar 1489 Masehi. Kehadiran Pura Pulaki tiada penghuni secara sekala berjalan lumayan lama. Pura Pulaki lenyap dari pandangan sekala dan wilayah ini ringkas kosong semenjak 1489 sampai seputar tahun 1920 atau sepanjang seputar 431 tahun. Tetapi sebelumnya, dari periode waktu jaman prasejarah s/d kedatangan Ida Batara Dang Hyang Nirarta tahun 1489, Pura Pulaki tetap selaku tempat penyembahan, baik yang dikerjakan orang prasejarah, orang Baliaga dengan Sekte Waisnawa yang ditingkatkan Rsi Markandeya dan orang penganut Tri Sakti dengan lambang tiga kuntum bunga teratai yang warna merah, hitam dan putih yang diambil Dang Hyang Nirarta dari kolam yang didapat dalam perut naga di Pulaki.
Dipugar
Satu wilayah yang tidak ditempati sejauh ini, pastinya jadi rimba belantara dan cuman ditempati binatang buas, babi rimba, harimau, banteng dan lain-lainnya. Walau demikian, menurut Simba, warga Dusun Kalisada dan beberapa dusun disekelilingnya tetap setia ngaturang bhakti ke Batara di Pulaki dengan naik perahu dari Kalisada. Tetapi waktu itu Berpura-pura itu telah tidak ada kembali, hingga penyembahannya dikerjakan pada batu-batuan yang berada di seputar Pura Pulaki yang posisinya ada pada tempat saat ini.
Karena itu, Simba menyangka Pura Pulaki sesungguhnya ada dalam rimba, bukan di lokasi yang saat ini. Posisi pura yang saat ini diprediksi selaku tempat pengayatan sebab masyarakat tidak berani masuk di dalam rimba. "Sebab tempat ini telah ditempati binatang buas, hingga mustahil masuk di pedalaman," ucapnya.
Tahun 1920 Pulaki mulai dibuka yang diikuti dengan dikontrakkannya tempat ini oleh pemerintahan penjajahan Belanda ke orang Cina namanya Ang Tek What. Teritori itu selanjutnya dibalikkan seputar tahun 1950 yang seterusnya dikerjakan pemugaran-pemugaran pada tempat suci di teritori itu. Pemugaran Pura Pulaki dan pesanakannya dikerjakan sesudah tahun 1950.
Menurut Simba, Pura Pulaki dan pesanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatungan, Pura Pucuk Manik dan Pura Pemuteran, tidak dapat dipisah. Disaksikan dari 7 posisi Berpura-pura itu dan sama ide Hindu hal tersebut terhitung ide sapta loka, yaitu ide mengenai sapta patala, yaitu 7 susunan semesta alam.
Pulaki dan Sumsum Tulang Itik
Riwayat Pura Pulaki tidak dapat dilepaskan dari beberapa tempat penyembahan yang lain di Bali. Menurut Ketua Barisan Pengkajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba, Buleleng berada antara gunung dan laut. Sebab jarak pegunungan dan laut benar-benar dekat karena itu daratannya yang dipunyai benar-benar sempit. Ini disebutkan daerah nyegara-gunung, satu wilayah yang sarat dengan pusat religius dan tempat penyembahan, baik di gunung atau di pinggir laut.
Ketut Simba menerangkan, wujud Pulau Bali itu tidak ubahnya seperti satu ekor itik. Kepala menghadap ke barat bertemu dengan Jawa, punggung ke utara bertemu dengan laut Jawa dan Laut Bali, ekornya ke timur menghadap ke Lombok. Sesaat leher, tembolok, dada, perut, bertemu dengan Samudera Hindia. Dibagian punggung Pulau Bali terhampar deretanan wilayah pegunungan dari barat, wilayah Dusun Cekik sampai ke timur di Lempuyang Karangasem hingga Bali seakan dibelah jadi dua. Bali Selatan dan Denbukit. Denbukit dipisah dua, di mana sisi barat biasa disebutkan dauh enjung dan dangin enjung, di mana batasannya ialah enjung sanghyang.
Ekor itik ini punyai arti jika Bali punyai nilai kesucian yang tinggi sekali. Sebab itik binatang suci, bisa dibuktikan bila orang membuat banten (ketentuan suci), khususnya suci gede, karena itu binatang ini ialah fasilitas yang paling tentukan kesucian banten itu. Begitupun pegunungan yang memanjang dari barat ke timur ialah punggung itik, di mana pada tulang punggung memiliki kandungan sumsum dan elemen kehidupan pada dimensi religius. "Pada tempat berikut diketemukan garis kundalini," ucapnya.
Berpura-pura yang diketemukan di sejauh pantai diantaranya Pura Bakungan, Pura Teluk Terima, Labuhan Lalang, Pura Gede Pengastulan, Labuhan Aji, Celuk Agung, Penimbangan, Beji, Puradalem Puri, Gambur Anglayang, Kerta Negara Mas, Sudut Batu, Pura Pulaki dengan pesanakannya dan pura yang lain. Sedang di pegunungan dari barat ke timur ada Pura Pucak Manik, Pura Bujangga, Asah Danu, Batukaru, Tamblingan, Pucuk Mangu, Bukit Sinunggal, Indrakila, Tulisan, Besakih, Gunung Andakasa, Lempuyang dan sebagainya.
Nah, Pura Pulaki yang dibuat pada tempat kombinasi di antara wilayah pegunungan dan laut atau teluk. Karena itu tatanan letak, susunan dan lingkungan Pura Pulaki ini diketemukan elemen di antara segara dan gunung yang bersatu.
Minta Kemakmuran di Pura Pulaki
- Yadnyadanatapah karmana
- Tyajyam karyam eva tat.
- Yadnyodanam tapas vaiva
- Pavanani maniinam.
Tujuannya:
Sebaiknya lakukan dana, yadnya dan tapa tak pernah disetop. Karena, dana, yadnya dan tapa itu yang akan menyucikan beberapa orang yang arif.
DANA berarti memberi baik berbentuk materi atau nonmateri. Dengan dana itu manusia sebaiknya hidup sama-sama beryadnya. Tujuannya, dana itu yang ditingkatkan supaya bisa hidup sama-sama memiara berdasar yadnya di kehidupan bersama. Hanya di kehidupan bersama untuk sama-sama berdana dan beryadnya itu banyak bujukan. Dalam proses dana dan yadnya itu kita bertapa.
Tapa berarti kuat hadapi bujukan. Dinamika dana dan yadnya itu benar-benar tajam di kehidupan usaha di pasar. Pedagang melakukan investasi (dana) dalam bentuk barang dan layanan agar memberi servis pada konsumen. Atas servis dagang itu konsumen memperoleh keringanan mendapatkan barang atau layanan di pasar. Oleh karenanya, konsumen harus memberi nilai lebih pada barang dan layanan yang dia peroleh. Demikian pedagang dan konsumen sama-sama beryadnya di pasar. Jika tiada tapa pedagang dapat ambil keuntungan yang tidak pantas. Karenanya seluruh pihak jangan berbohong dalam proses jual beli di pasar. Supaya pedagang dan konsumen bertapa mengendalikan diri dan melakukan perbuatan jujur karena itu di tiap pasar di kelompok umat Hindu di Bali ada Pura Melanting. Di Pura Melanting itu Tuhan dipuji untuk membuat sikap spiritual selaku dasar kepribadian dan psikis dalam lakukan transaksi bisnis yang jujur dan adil. Di pasar berikut dinamika dana, yadnya dan tapa dikerjakan dengan terus-terusan. Dengan begitu semuanya yang turut terjebak dengan kehidupan pasar akan terbebaskan dari bermacam dosa. Tidak menipu warga seperti meracuni bahan makanan yang dipasarkan dengan zat kimia beresiko.
Pusat Pura Melanting di Bali ialah di Pura Pulaki. Lebih pas disebutkan di kompleks Pura Pulaki. Sebab Pura Pulaki selaku pusatnya dengan 6 Pura Pesanakannya yakni Pura Melanting, Pura Pegaluhan, Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Taman dan Pura Pemuteran. Seluruh pura itu terkait dengan Pura Pulaki dan ada di seputar pura itu.
Kehadiran Pura Pulaki dikisahkan dalam beberapa lontar. Seperti Lontar Babad Bali Radjiya, Babad Bhatara Sakti Pundak Rawuh dan Riwayat Pura Gede Pulaki. Seluruh sumber tercatat itu bercerita kehadiran Pura Pulaki itu terkait dengan kehadiran Mpu Dang Hyang Nirartha dari Majapahit ke Bali. Dalam Babad Bhatara Sakti Pundak Rawuh dikisahkan Dang Hyang Nirartha tiba dari Jawa Timur ke Bali. Sesampai di Bali beliau menemui satu ekor naga besar yang mulutnya menganga lebar. Beliau masuk di dalam mulut naga itu. Pada tubuh naga itu Mpu Dang Hyang Nirartha menjumpai satu taman cantik dengan bunga tunjung warna putih, hitam dan merah. Bunga padma hitam dan merah disumpangkan di ke-2 telinganya. Sedang yang putih digenggam dengan ke-2 tangannya di muka dada. Kemudian Mpu Danghyang Nirartha keluar dari mulut naga raja itu. Sesudah di luar seluruh putra-putri beliau tidak mengenalnya. Selanjutnya istri dan beberapa anak beliau lari terpencar. Istri Danghyang Nirartha usaha kumpulkan putra-putranya itu. Tapi cuman satu yang tidak dapat diketemukan namanya Ida Ayu Swabhawa. Tapi jadi Dewa Pasar yang disebutkan Dewa Melanting dan bebas dari tua dan pati.
Dalam riwayat Pura Gede Pulaki dipastikan jika Danghyang Nirartha ke Bali untuk mengangkat Dalam Watu Renggong yang memerintah di Bali tahun 1460-1550 M. Perjalanan beliau ke Klungkung dikerjakan dari Dusun Gading Wani. Anak-anaknya ditinggal di Dusun Gading Wani. Beliau janji tidak beberapa lama akan kembali lagi sesudah usai acara di Klungkung. Tapi kenyataannya Danghyang Nirartha dalam saat yang lumayan lama tidak tiba. Putri beliau Ida Ayu Swabhawa pada akhirnya benar-benar gusar. Desa-desa disekelilingnya dengan 8.000 warga disumpah jadi wong kabur terhitung dianya. Ida Ayu Swabhawa dengan pendampingnya tinggal di bawah beberapa pohon besar. Beberapa pohon itu mempunyai sulur-sulur tempat bergelayut (ngelanting dengan bahasa Bali). Di area pohon itu Ida Ayu Swabhawa dibuatkan pelinggih disebutkan Pura Melanting. Beliau dengan wong kabur itu sebagai penguasa pasar. Siapa saja berdagang atau belanja tidak sesuai norma kepribadian dharma akan terganggu hidupnya oleh Dewa Melanting dengan anak buahnya. Jika di pasar mengikut dharma karena itu Dewa Melanting itu yang akan melindunginya.
Dari sisi distanakan di Pura Melanting ada pula stana beliau yang disebutkan Pura Tedung Jagat. Pura berikut yang selanjutnya disebutkan Pura Pulaki dan distanakan arwah suci Dang Hyang Nirartha. Karenanya, Pura Melanting dan Pura Pulaki selaku predana-purusa selaku tempat penyembahan untuk meminta kemakmuran ekonomi.
Pura Pulaki disungsung oleh 14 subak di seputar Pulaki. Di Pura Pabean tempat penyembahan beberapa nelayan dan beberapa pedagang antarpulau. Kemungkinan sama dengan Pura Ratu Subandar di Pura Batur dan Besakih. Pura Kertha Kawat termasuk kompleks Pura Pulaki selaku stana Tuhan untuk meminta tegaknya kepribadian norma dan hukum dalam menjalankan bisnis. Di pura ini disebutkan stana Batara Kertaning Jagat. Pura Gunung Gondol berada 3 km dari pusat Pura Pulaki selaku stana untuk memuja Dewa Mentang Yudha yakni Tuhan dalam manfaatnya selaku perlindungan dari semua bahaya seperti Dewa Ganesa. Upacara piodalan di Pura Pulaki tiap 2 tahun sekali pada Purnamaning Kalima