Catur Warna dalam Membangun Negara
Catur Warna dalam Membangun Negara
seperti yang telah dijelaskan dalam "Catur Warna Strata Sosial dalam Agama Hindu", bahwa setiap profesi hidup tidaklah ada yang tinggi dan rendah, semua profesi memiliki ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya, semua seimbang, sama penting dan saling melengkapi. tetapi dalam kenyataannya, masih banyak masyarakat kita teracuni oleh peninggalan penjajah, yaitu kasta. krama bali khususnya, masih membedakan status sosial dengan merendahkan profesi lawannya atau semetonnya. ini terlihat dari pergaulan sehari-hari yang selalu ada yang ingin di tinggikan dan ada yang sengaja merendahkan profesi lainnya.
karena itu, melalui artikel ini dicoba untuk menjelaskan Catur Warna dalam Membangun Negara tersebut.
coba perhatikan sloka 67 (30) dari kitab sokantara berikut ini:
coba perhatikan sloka 67 (30) dari kitab sokantara berikut ini:
Ye wyatitah swakarmabhyah parakarmapajiwinah,dwijatwamawajananti tamsca sudrawadacaret [slokantara 67 (30)]
"mereka yang melalaikan kewajibanya, dan hidup dengan menjalankan kewajiban orang lain, dengan melupakan kewajiban golongannya, maka mereka dapat dianggap sebagai sudra"senada dengan kitab slokantara diatas, disebutkan dalam Kitab Wrtisasana (Kirtya IIb.78/I)
Ka, ikang wwang yan surud sakeng swakarmanya, manopajiwanya, amangan denyan umulaheken gawening wwang len, kadyungganing sang brahmana, awaking brahmana pinaka kawijilanira tuhu-tuhu dwijati, tumut ta sira ri sagawening sudra, ikang pinaka pangupajiwa ri sira, yan mangkana, hilang kadwijanira. (hana puweka sang wipra mangkana, sudrawat, pada sira lawaning sudra candala, makanimitta denira n kadi ulahning sudra)
dikatakan bahwa orang yang mengundurkan diri atau menyeleweng dari kewajiban yang diharuskan untuk orang lain, umpamanya orang brahmana, yang kelihatan dan kelahirannya benar-benar dari keluarga brahmana, lalu turut dia mengerjakan segala pekerjaan yang ditentukan bagi golongan sudra, dan hasil pekerjaannya itu merupakan sumber kehidupan mereka, jika ada yang demikian kebrahmanaannya ketingalan, kelahirannya lenyap sirna.mahatmagandi juga pernah mengemukakan pendapatnya tentang kewajiban manusia dalam menjalankan dharmanya
"marilah kita berbahagia sebagai apa kita telah dilahirkan (dilahirkan dari brahmacari/pengetahuan), dan berbahagia menunaikan kewajiban yang telah ditentukan oleh alam kepada kita"setiap manusia itu dilahirkan ke dunia ini dengan kewajiban tertentu yang harus diselesaikan atau dipangkunya, sesuai dengan karma wasana-nya masing-masing, dan alangkah indahnya dunia kehidupan ini jika setiap anggota masyarakatnya, setiap anggota dunianya dengan jujur melakukan kewajiban yang ditentukan untuk mereka. sepertihalnya anggota badan kita, jika masing-masing melakukan kewajibannya dengan sempurna, dengan tidak mengganggu kewajiban orang/anggota lainnya, badan kita akan menjadi sempurna, baik kesehatan maupun perkembangannya. alangkah kacaunya jika kepala kita mencoba untuk melakukan pekerjaan kaki, atau mata kita mendengan, telinga digunakan untuk makan dan lain-lainnya yang saling menukar tugas pekerjaan. setiap pekerjaan sudah tentu ada berat ringannya masing-masing, tetapi jangan mengira yang lain itu selalu ringan. tapi sayangnya, hal ini terjadi di negara kita, adanya kerancuan dan kekacauan tugas dari setiap warna dalam negara kita;
“Bila Ada Brahmana masuk kedunia politik, maka namanya jadi hancur. Ksatria atau politikus sekuat apapun, ketika dia membantu anak-anaknya jualan, maka akan segera rontok. Wesya sang sodagar, para pengusaha/investor, yang berkolaborasi dengan antek-antek politikus korup, melalui kucuran BLBI, akan hancur, dikejar sampai ke ujung dunia. sudra merupakan pekerja dan mahasiswa yang belum memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang cukup, diprovokator oleh brahmana haus kuasa, menginjak-injak gedung DPR, lalu tergesa-gesa merusak tatanan yang sudah ada, melahirkan reformasi yang saat ini nyaris tak berarti”
dalam konsep sosial agama hindu, profesi digolongkan menjadi 4 yaitu
- brahmana – orang-orang yang bekerja sebagai penjaga gawang sosio kultural – kiai, pendeta, pedanda, guru, dosen, pemuka masyarakat yang bertugas memelihara adat istiadat, agama dan sejenisnya.
- Ksatria – adalah para penjaga gawang sistem politik atau penyelenggara negara – legislatif, eksekutif dan yudikatif
- Wesya adalah orang-orang yang bertugas mengelola sub sistem adaptif – perekonomian.
- Sudra adalah orang-orang yang berprofesi bukan ketiganya.
keempat golongan tersebut, tidak dinyatakan satu lebih tinggi dari yang lain, melainkan paralel horisontal, semua harus ada di tempatnya masing-masing, sesuai dengan bakat dan pekerjaannya. Rukun dan sikap saling hormat menghormati antar golongan di catur warna, sangat diperlukan untuk harmonisasi masyarakat. Pembagian empat golongan ini juga menghendaki tidak adanya cross function atau rangkap jabatan/kekuasaan.
Cendikiawan dalam posisi sebagai brahmana yang bertugas mengemong umatnya di bidang sosio kultural, tidak diperbolehkan untuk masuk ke dunia politik (wilayah ksatria).Seorang ksatria tidak diperkenankan untuk bergerak langsung ataupun tidak langsung dalam sektor perekonomian.Wesya atau pengelola perekonomian, tidak boleh berkolaborasi atau bahkan rangkap jabatan sebagai politikus, karena akan menyebabkan, keluarnya undang-undang monopoli untuk menguntungkan kelompok bisnisnya.
Catur Warna dari sudut pandang kebangsaan
Para ”brahmana”, sudah semestinya tekun dengan tugasnya dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan dari sistem kemasyarakatan yang terdiri dari beragam Suku, Agama, Ras dan hubungan Antar Golongan. Golongan Brahmana, diharapkan untuk mampu membangun sistem nilai yang dianut bersama, seluruh anak bangsa. Tanpa ada nilai-nilai yang dipahami bersama, maka rakyat, tidak memiliki dorongan untuk terlibat dalam membangun kebangsaan, tidak ada rasa kebersamaan. Mereka kehilangan tujuan bersama, semangat satu "bangsa" - satu "bahasa" dan satu "tanah air". Karena itulah, Brahmana bertugas untuk mempertahankan integrasi sosial dengan menetapkan sistem norma (tujuan, falsafah hidup) yang dianut bersama, sehingga mampu merajut kembali serpihan yang terserak dan kocar-kacir setelah reformasi terjadi.
Sangat disayangkan, saat ini para Brahmana gontok-gontokan, kelihatan manis ketika berhadapan pada rapat lintas agama, tapi setelah itu aktif menamkan pada akar rumput rasa kebencian bahkan untuk saling serang satu dengan yang lainnya. Membangun fanatisme agama, bukan dengan tujuan untuk berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi semata-mata untuk memuaskan nafsu untuk meraih kedudukan-kedudukan politik dan keuntungan material. Para pendidik dan tenaga kependidikan yang terhimpit masalah ekonomi, terbaca kesedihannya oleh para peserta didik, dan sangat mungkin mereka jadi juru kampanye negatif terkait dengan peran negara dalam memberikan kesejahteraan.
Ksatria adalah orang-orang yang memiliki tugas dalam hal pengelolaan negara - baik itu di legislatif, eksekutif maupun di yudikatif.
Para ksatria bertugas untuk menterjemahkan dengan lebih rinci, tujuan-tujuan bangsa, yang ditetapkan oleh elemen sosio kultural, sehingga tujuan bersama dapat tercapai.
Tugas utama para ksatria penyelenggara negara adalah menterjemahkan lalu menetapkan ”inti” tujuan, lalu menterjemahkannya secara praktis, memberikan arah serta pengertian, serta menyusun rangkaian tindakan yang terintegrasi untuk mencapai tujuan.
Para ksatria bertugas untuk menterjemahkan dengan lebih rinci, tujuan-tujuan bangsa, yang ditetapkan oleh elemen sosio kultural, sehingga tujuan bersama dapat tercapai.
Tugas utama para ksatria penyelenggara negara adalah menterjemahkan lalu menetapkan ”inti” tujuan, lalu menterjemahkannya secara praktis, memberikan arah serta pengertian, serta menyusun rangkaian tindakan yang terintegrasi untuk mencapai tujuan.
Ksatria bertugas menetapkan visi negera, menetapkan garis-garis besar haluan negara sehingga tujuan dan cita-cita yang dirumuskan oleh elemen sosio kultural, menjadi spesifik dan memiliki manfaat yang signifikan. Lalu setelah tersusun rencana yang matang, maka rencana tersebut diimpelementasi, bukan untuk kepentingan sendiri, melainkan untuk kesejateraan seluruh masyarakat.
Celakanya, setelah berteriak lantang mengenai visi dan misi pada saat pemilihan umum, para Ksatria, oknum-oknum pemimpin politik, baik di tingkat nasional, maupun daerah, bingung dalam menterjemahkan keinginan para pemilih, ke dalam langkah-langkah praktis untuk mencapai tujuan. Ketidak mampuan ini pada akhirnya menjadi sebab disorientasi tujuan dan kekacauan di sistem sosio kultural. Berbagai langkah yang dilakukan, bukan untuk kemaslahatan masyarakat, melainkan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Lalu wesya, yang menjadi penjaga gawang subsistem perekonomian, bertugas untuk menghasilkan nilai (value) baik berupa barang maupun jasa. Para wesya, akibat kebijakan para ksatria, terpangkas keuntungan usahanya, sehingga pasokan ke dalam sub sistem adaptif berupa modal dan semangat kerja menjadi sangat berkurang.
Yang terakhir adalah sudra. Sudra ini bukan berarti yang paling rendah, tetapi dalam hal ini adalah orang-orang yang profesinya bukan brahmana, bukan ksatria, dan bukan pula wesya, dan sudra merupakan representasi dari masyarakat kebanyakan (wong cilik). Sudra atau masyarakat luas inilah yang mestinya di-emong oleh subsistem sosio kultural atau para brahmana – agar benar-benar dapat berkontribusi penuh dalam penyelenggaraan suatu negara.
Akan tetapi pada kenyataannya, para petani penghasilannya banyak hilang, dimakan bensin, mahalnya pupuk dan insektisida. Masyarakat sering disatroni Garong di siang hari, maling mengambil barang terang-terangan, penjarah dimana-mana. Koruptor triliunan rupiah bebas melenggang, rakyat lapar makin tertindas dan meregang. Semuanya ini, mendorong kearah krisis legitimasi – krisis kepercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Bagaimana hubungan antar bagian dari Catur Warna ?
Sistem sosio-kultural (Brahmana) akan memberikan jaminan kesetiaan massa pendukung bagi sistem politik. Dan sistem politik (Ksatria) tentunya harus memikirkan kesejahteraan dari para Brahmana dan masyarakat umum yang jadi umatnya. Para ksatria bertugas mengendalikan gerak perekonomian negara secara adil, sehingga para wesya dapat tenang dalam memutar roda perekonomian. Sebagai imbal baliknya, sistem ekonomi akan memberikan kontribusi berupa pajak kepada sistem politik. Sistem perekonomian akan memberikan barang/jasa kepada subsistem sosio-kultural, sedangkan subsistem sosio kultural akan memasok para kerja dengan motivasi tinggi untuk memutar roda perekonomian.
Nah pada kenyataannya sekarang,
para wesya tidak menjalankan swadharma atau bidang tugasnya untuk menghasilkan sejumlah nilai-nilai baik berupa barang/jasa yang dibutuhkan untuk konsumsi. Hal ini disebabkan karena berbagai kebijakan administratif yang diterapkan oleh para Ksatria, ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan para Wesya agar mampu berusaha dengan baik. Produk-produk sistem politik, tidak menghasilkan sejumlah keputusan rasional yang diperlukan untuk mengatur negara dengan adil. Pada saat krisis ekonomi terjadi, para aparatur negara bertindak sebagai perencana bagi pemodal-pemodal besar kaum pedagang. Tindakan aparatur negara sebagai pelaksana hukum mengalami kesadaran rendah bahkan sampai pada titik nadir yang bisa di toleransi.
Keputusan-keputusan aparat negara sangat tidak rasional, sehingga terlihat dengan jelas, bagaimana kepentingan para kapitalis, menang terhadap kepentingan masyarakat secara umum. Karena gerak perekonomian kurang, maka pajak tidak dapat masuk ke kas negara, di tambah kerakusan penyelenggara negara, maka hutang luar negeri makin menumpuk.
Politisasi agama dan budaya, juga memiliki efek samping yang tidak diinginkan, berupa campur tangan aparat negara dalam tradisi kultural. Hal ini semata-mata karena kolaborasi jahat para ksatria dan brahmana sehingga muncul erosi tradisi yang menghancurkan jati diri bangsa tanah Nusantara. Para penjaga gawang sosio-kultural tidak mampu lagi membangun nilai-nilai kebersamaan sebagai bangsa. Sehingga mempercepat keretakan yang timbul di masyarakat.
Kecenderungan krisis ini berubah menjadi penarikan legitimasi dengan cara memporak-porandakan aparat negara. Lalu krisis legitimasi langsung berubah menjadi krisis jati diri. Memang tidak berdampak langsung, tetapi krisis jati diri diakibatkan oleh kenyataan bahwa pelaksanaan tugas-tugas perencanaan dan eksekusi rencana pembangunan, yang diemban pemerintah, telah menimbulkan pertanyaan besar.
Pertanyaannya adalah apakah seluruh upaya tersebut dapat mendorong kearah kesejahteraan publik atau malah menyengsarakan masyarakat ?
Masyarakat sudah mulai kehilangan motivasi, akibat tingkah pola para brahmana durjana, para politisi bermulut manis tukang ingkar janji, serta muak pada para pedagang serakah yang mengeruk keuntungan dengan cara-cara yang tidak berkah.
Hai para Brahmana, Ksatria, Wesya dan Sudra, yang masih bernurani, segeralah bersatu untuk menyusun kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mari kita bersihkan Indonesia dari oportunis-oportunis yang hanya mencari nikmat dari kekuasaan yang dimiliki, tanpa tanggung jawab untuk membuat tanah Nusantara jadi Rahayu. Acuhkan para Brahmana banyak mulut, penjual ayat. Singkirkan ksatria-ksatria haus kekuasaan. Penjarakan para sodagar yang menggangsir uang rakyat begitu banyak.