Pura Agung Kentel Gumi
Pura Agung Kentel Gumi terletak di Desa Tusan Banjarangkan Klungkung Bali. Merupakan salah satu Pura kahyangan Jagat Bali, sungsungan umat Hindu sebagai stana Ida Sang Hyang Reka Bhuwana. Pura ini berfungsi sebagai tempat memohon kedegdegan jagat. Sebagaimana dipaparkan dalam lontar Raja Purana batur, Pura Agung Kentel Gumi merupakan Tri Guna Pura (Kahyangan Tiga-nya Jagat Bali). Pura Batur/Tampurhyang sebagai Pura Desa-nya (mohon kesuburan), Pura Kentel Gumi sebagai Puseh (Kedegdegan jagat) dan Pura Agung Besakih/Tohlangkir sebagai Dalem (kesucian sekala niskala). Terkait catatan tentang Tri Guna Pura, ternyata bukan ditemukan di Pura Agung Kentel Gumi, melainkan termuat dalam Raja Purana Batur yang tersimpan di Pura Batur, Kintamani, Bangli. Berdasarkan penelusuran tokoh agama dan pengurus PHDI bahwa Tri Guna Pura ini sebelumnya nyaris tak ada yang tahu, sehingga Pura Kentel Gumi seperti ikut terlupakan.
Terungkapnya fungsi Tri Guna Pura itulah yang menjadi salah satu dorongan melakukan pemugaran Pura Kentel Gumi. Selain karena kondisi fisik bangunan, memang banyak yang sudah keropos. Pemugaran, sedapat mungkin dilakukan dengan mempertahankan "keaslian" pura — detail pelinggih, tembok, serta corak dan ragam hias ukiran diupayakan semirip mungkin dengan aslinya. Kalaupun ada tiruan, bahan dan garapan harus ditiru dari dokumentasi berupa foto-foto Pura Kentel Gumi yang masih tersimpan.
Pura Agung Kentel Gumi terdiri atas empat halaman utama. Utamaning Utama Mandala terdiri atas 23 pelinggih di antaranya Lingga Reka Bhuwana/Pancer Jagat, Meru Tumpang Solas (pelinggih Ida Sanghyang Reka Bhuwana). Di sisi utara (kompleks pelinggih Bathara Maspahit), terdiri atas enam pelinggih. Pelinggih utama Gedong stana Bathara Maspahit. Di sisi selatan, kompleks pelinggih Batara Masceti, terdapat 9 pelinggih, Gedong merupakan stana Batara Masceti.
Utà ma Mandala - beda dengan utamaning utama mandala. Di sini terdapat sumanggen sebagai ciri utama. Ada juga perantenan suci, dengan ciri pelinggih Lumbung Agung/tempat penetegan. Sedangkan di Madya Mandala (tengah). Di sini terdapat empat pelinggih, salah satunya pelingguh Bale Agung, Gedong Sari stana Batari Saraswati. Nista Mandala (jaba sisi/luar). ada dua Padmasari.
Pelinggih-pelinggih itu bagian dan perluasan Pura Agung Kentel Gumi, yang diawali Mpu Kuturan masa pemenintahan Raja Bali Kuna dan dinasti Warmadewa yakni Raja Udayana Warmadewa dengan permaisuri Putri Mahendradatta. Purana mencatat, setelah Mpu Kuturan, Pura Kentel Gumi diperluas dengan pembangunan pelinggih, menyusul berkuasanya Sri Haji Cili Kresna Kepakisan (bungsu Danghyang Soma Kepakisan) yang diminta Mahapatih Gajah Mada/Majapahit menjadi adipati Bali pasca kalahnya Raja Sri Tapolung di Bedahulu.
Dalam perjalanan menuju Bali, Dalem Cili Kresna Kepakisan tiba di Tusan. Dalem tahu keutamaan tempat suci/parahyangan Kentel Gumi. Bersama pangiringnya, dipimpin Arya Kenceng dan warga, dilakukan perbaikan membangun/menambah pelinggih. Di antaranya Meru Tumpang Solas, Padmasana, Meru Tumpang Sia, Tumpang Pitu, Tumpang Lima, Tumpang Telu dan pelinggih lainnya. Termasuk palinggih dasar sebagai stana Ida Dewi Basundari.
Terlupakannya Tri Guna Pura Agung Kentel Gumi, luput pula ingatan orang tentang salah satu aci (upacara) pokok yang semestinya digelar di Pura Agung Kentel Gumi sesuai fungsinya sebagai Pura Puseh Jagat, yakni Upacara Panyegjeg Jagat (upacara Reka Bhumi). Tersurat dalam sastra — baik purana atau babad — upacara Panyegjeg Jagat digelar ketika Raja Dalem Waturenggong bertahtha di Gelgel sekaligus mengukuhkan Pura Kentel Gumi sebagai Tri Guna Pura. Selain Pura Besakih dan Pura Batur.
Ketika Raja Dalem Waturenggong memerintah, Pulau Bali mencapai kesejahteraan dan ketenteraman. Karena kewibawaan dan keberanian Raja yang diabaratkan Sanghyang Hari Murti bentangan empat (Catur Bhuja). Raja Dalem Waturenggong menggelar yadnya di Khayangan Jagat, Eka Dasa Rudra di Besakih, Pancawali Krama di Batur dan Panyegjeg Jagat di Kentel Gumi. Itu yang kemudian dijadikan acuan digelarnya upacara Panyegjeg Jagat di Pura Kentel Gumi. Diperkirakan, sejak 548 tahun lalu upacara Penyegjeg Jagat tidak pernah digelar. Perkiraan itu dikarenakan Dalem Waturenggong naik tahta tahun 1460.
SELAIN sebagai "Tri Guna Pura", sejumlah hal menarik lainnya juga terdapat di Pura Agung Kentel Gumi. Salah satunya, peninggalan sejarah dan purbakala menurut purana dibangun Mpu Kuturan masa pemerintahan Raja Sri Dharmodayana Warmawadewa-Gunapridharmapatni Makutawangsawardana (Putni Mahendradatta) pada 989 M.
Untuk diketahui, Pura Agung Kentel Gumi menyimpan puluhan area kuno. Ada yang masih utuh, ada juga berupa pragmen. Salah satu fragmen itu, sebuali lingga. Bisa disebut Lingga Reka Bhuwana karena berkaitan dengan sejarah, legenda dan mitologi. Lingga itu terletak di utama mandala. Dengan ukuran sangat kecil dibanding bangunan lainnya yang lebih besar dan menjulcing seperti meru, gedong danlainnya, sulit melihat Lingga Reka Bhuwana tersebut, jika tak diteliti. Letaknya persis di tengah-tengah jeroan pura. Tinggi lingga tak lebih 2 meter. Alasnya (Yoni) sekitar 2 meter persegi.
Namun, bentuknya terlihat lebih unik dibanding Lingga-Yoni umumnya. Lingga-Yoni umumnya berupa selinder berujung bulat. Lingga melambangkan purusa. Yoni berbentuk lesung segi empat sebagai simbol pradana.
Sementara Lingga Reka Bhuwana di Pura Agung Kentel Gumi ujungnya (puncak) tidak bulat, tetapi berbentuk pipih. Badan lingga berbentuk persegi. Begitupun Yoni (alas) Sebagai simbol pradana, sekilas tampak seperti punden berundak. Tidak ada yang tahu persis, terkait bentuk Lingga Reka Bhuwana yang berbeda dibanding Lingga-Yoni pada umumnya. Berdasarkan dugaan, itu dikarenakan berkaitan dengan riwayat (tatwa) Pura Agung Kentel Gumi.
Seorang penekun spiritual, urati lontar/babad/prasasti asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma, menyebutkan lazimnya Lingga-Yoni Reka Bhuwana disebut Linggih Pancer Jagat. Karena diyakini di tempat itulah Mpu Kuturan meletakkan tanda (titik awal) ketika mengawali pembangunan Pura Agung Kentel Gumi.
Berdasarkan purana, pendirian Pura Agung Kentel Gumi erat kaitannya dengan kedatangan Mpu Kuturan pada masa pemerintahan Raja Udayana dan istrinya Putri Mahendradatta. Mpu Kuturan datang ke Bali untuk dimintai nasehat sebagai purohito, menyusul adanya pertikaian antar sekte keagamaan di Bali. Untuk mengatasi itu.
Mpu Kuturan mengundang tokoh sekte dan menggelar pertemuan di sebuah tempat di Gianyar yang sekarang ini merupakan Pura Samuan Tiga. Menyusul kesepakatan leburnya paham sekte, disepakati juga pemujaan Batara Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa). Dan sini juga muncul konsep Kahyangan Tiga dan desa pakraman.
Sebuah lokasi, sekarang kawasan Pura Agung Kentel Gumi, dipilih Mpu Kuturan sebagai tempat yoga semadi. Berkat kesidhiannya, sosial keagamaan masyarakat Bali jadi kondusif, kokoh. Bebas dan pertikaian antar sekte. Itu yang kemudian disimbolkan dengan Linggih Pancer Jagat—berupa Lingga-Yoni khas Pura Agung Kentel Gumi.
Pura Agung Kentel Gumi juga menyimpan keunikan lain berkaitan dengan kepurbakalaan, Lusinan benda purbakala berupa area, fragmen area, pratima ada di sana. Untuk sementara disimpan di Gedong Murda Manik (palinggih sementara) sambil menunggu tuntasnya pemugaran. Selanjutnya dikembalikan pada pelinggih masing-masing, di mana benda-benda sakral itu berada sebelumnya.
Paling mencolok, bentuk area batu dengan catur muka (wajah ke empat penjuru mata angin). Ukurannya lebih besar dibanding area lain. Tingginya diperkirakan 1,2 meter. Berwarna keabu-abuan berbahan batu andesit selayaknya area kuna umumnya. Namun, tak ada yang tahu secara jelas, makna area tersebut terkait dengan keberadaan Pura Agung Kentel Gumi. Meski demikian, mengingat pura sebagai tempat suci/pemujaan Ida Sang Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya, bukan hal yang salah area Catur Muka dimaksudkan sebagai penggambaran Dewa Brahma/Brahma Catur Muka. Dalam pemahaman Hindu, Dewa Brahma merupakan manisfestasi Tuhan Yang Maha Esa yang berwajah empat.
PURA Agung Kentel Gumi di Desa Tusan Kecamatan Banjarangkan, Klungkung adalah Pura Kahyangan Jagat sebagai media pemujaan Tuhan dengan sebutan Sang Hyang Reka Bhuwana atau disebut juga Sang Hyang Pancering Jagat. Manifestasi Tuhan
dengan sebutan lokal Bali itu dipuja di Meru Tumpang Sebelas. Menurut Yajurveda XXXII.3 Tuhan itu tidak punya bentuk seperti ciptaan-Nya (Na tasya pratima asti). Para Vipra atau orang-orang suci yang ahli (Brahmana Sista) itulah yang menyebutkan dengan banyak nama —Ekam sat vipra bahuda badanti.
Demikian dinyatakan dalam Veda bahwa tujuan pemujaan pada Tuhan Yang Maha Esa dengan teguh adalah untuk mewujudkan kehidupan yang makmur secara adil. Hal ini dinyatakan dalam Atharvaveda VIII.2.25. Karena itu pemujaan pada Tuhan bukan untuk membuat umat semakin menderita. Karena itu Mantra Veda yang dikutip di atas menyatakan bahwa bumi ini diciptakan oleh Tuhan sebagai wadah kehidupan semua makhluk hidup. Apa yang boleh, baik dan benar dilakukan di bumi ini dinyatakan dalam mantra Atharvaveda, XII, 1.1.
Untuk melakukan perbuatan yang menjunjung kehidupan yang baik dan benar tidaklah mudah. Karena itu umat seyogianya memuja Tuhan untuk mendapatkan penguatan diri lahir bathin. Dalam hal inilah Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Reka Bhuwaria di Pura Kentel Gumi di Desa Tusan, Klungkung. Reka Bhuwana artinya suatu perencanaan matang yang seyogianya dilakukan di bhuwana atau bumi ini. Di Pura Agung Kentel Gumi ada upacara Reka Bhumi suatu upacara yadnya yang wajib dilakukan.
Tujuan upacara Reka Bhumi ini untuk mendapatkan Penyegjeg Jagat. Artinya, untuk mencapai tegaknya kehidupan dibumi ini. Ada enam hal yang wajib dibumi ini agar Ibu Pertiwi jegjeg yaitu Satya, artinya kebenaran Veda yang bersifat Sanatana Dharma yaitu kebenaran yang kekal abadi. Kebenaran yang disebut Satya itu adalah dasar untuk berperilaku untuk menuju jalan Tuhan. Berperilaku itu adalah berpikir, berkata dan berbuat menuju jalan Tuhan.
Dalam Slokantara 2 ada dinyatakan bahwa Satya itu lebih utama nilainya daripada seratus Suputra. Seorang Suputra seratus kali lebila utama nilainya daripada seratus kali upacara yadnya. Yakinlah kalau senantiasa berpegang dengan Satya hidup ini pasti mendapatkan anugerah atau karunia dan Tuhan.
Rta artinya hukum alam. Hiduplah dengan menggunakan sumber-sumber alam dengan tidak melanggar hukum alam itu sendiri. Alam ini terbentuk dan Panca Maha Bhuta yaitu tanah, air, udara, panas dan akasa. Swami Satya Narayana dalam buku "Anandadayi" menyatakan bahwa kejahatan yang paling besar di bumi ini adalah merusak unsur-unsur alam tersebut. Menggunakan sumber-sumber energi alam ini secara berlebihan akan menimbulkan kebakaran. Kalau langit atau akasa itu dikotori akan meñyebabkan manusia menderita penyakit gangguan mental, bahkan penyakit gangguan jiwa.
Semuanya ini memang sudah terbukti Sekarang banyak teijadi kebakaran hutan, panas menyembur clan dalam tanah, suhu bumi semakin meningkat dan berbagai kerusakan alam lainnya. Prof. Dr. Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup RI, menyatakan sudah terjadi sepuluh kerusakan muka bumi ini. Hal ini disebabkan bergesernya hidup manusia modern dari needs ke wants. Artinya, hidup berdasarkan kebutuhan telah bergeser berdasarkan keinginan.
Keinginan itu tak ada batasnya. Diksa artinya penyucian atau pemberkatan. Dalam anti proses hendaknya setiap orang terus berusaha meningkatkan kesucian dininya dengan berusaha menguatkan kesadaran budhi-nya untuk mencerahkan kecerdasan pikirannya. Pikiran yang cerdas berfungsi mengendalikan indriya atau nafsunya. Nafsu yang terdidik dan terlatih itulah akan mengekspresikan perilaku suci. Kalau hal itu sudah dapat dicapai dan dibuktikan barulah dilakukan ritual diksa atau pentasbihan sebagai diksita. Melakukan diksa ini bukanlah hak suatu wangsa tertentu. Diksa itu adalah kewajiban dan hak setiap umat Hindu dengan tidak melihat asal-usul wangsa-nya.
Tapa artinya secara denotatif dalam bahasa Sansekerta adalah panas atau bersinar. Secara konotatif artinya pengendalian diri dengan cara membangkitkan kekuatan sinar Sang Hyang Atma dalam diri. Kalau sinar Atman dapat dilepaskan dan halangan kuatnya gejolak hawa nafsu maka tujuan tapa untuk mengendalikan diri itu dapat terwujud. Dengan tapa itu keinginan nafsu yang disebut Wisaya Kama itu dapat diubah menjadi Sreya Kama yaitu keinginan untuk selalu mendekatkan diri sesuai dengan tuntutan Tuhan.
Menunut Ayur Veda hal itu akan dapat dicapai dengan mengendalikan makanan, gaya hidup dan kesehatan fisik (Ahara, Wihara dan Ausada). Brahma artinya menumbuhkan diri dengan doa. Kata "brahma" dalam bahasa Sansekerta berasal dan akar kata "brh" artinya tumbuh atau mencipta. Karena itu sinar suci Tuhan dalam menciptakan disebut Dewa Brahma. Berdoa dengan melapalkan mantra-mantra Weda dengan tekun sebagai puja stawa akan dapat menguasai kesadaran budhi, kecerdasan pikiran dan kepekaan emosional dalam kesucian mantra Weda tersebut.
Candogya Upanishad menyebutkan, setiap han usahakan berdoa pagi saat raditya dina, siang saat madya dina dan sore saat sandhya dina. Yadnya artinya suatu keikhlasan untuk melakukan pengorbanan untuk tujuan yang suci. Inilah merupakan unsur yang utama dalam melangsungkan upacara keagamaan Hindu. Upacara dalam bahasa Sansekerta artinya mendekat. Karena itu, upacara yadnya itu dilakukan dengan mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara bakti.
Mendekatkan diri pada sesama manusia dengan punia atau pengabdian. Mendekatkan diri pada alam lingkungan asih. Asih, punia dan bhakti inilah landasan melakukan yadnya. Yadnya itu bentuknya bukan upacara keagamaan semata-mata. Dengan menghemat penggunaan sumbersumber alam itu juga suatu yadnya. Tidak memaksakan kehendak itu juga yadnya. Mengendalikan hawa nafsu juga yadnya.
Dengan melakukan enam langkah yang disebut Sat Pertiwi Dharyante (enam upaya menyangga ibu pertiwi inilah sebagai upaya Reka Bhuwana mewujudkan Jejeg Jagat. Inilah yang terus-menerus dimohonkan pada Tuhan lewat Pura Kentel Gumi. Di Pura Besakih juga dilangsungkan upacara Penyejeg Jagat di Pura Gelap dan Pengurip Bumi di Pura Ulun Kulkul. Diambil dari berbagai sumber.
Terungkapnya fungsi Tri Guna Pura itulah yang menjadi salah satu dorongan melakukan pemugaran Pura Kentel Gumi. Selain karena kondisi fisik bangunan, memang banyak yang sudah keropos. Pemugaran, sedapat mungkin dilakukan dengan mempertahankan "keaslian" pura — detail pelinggih, tembok, serta corak dan ragam hias ukiran diupayakan semirip mungkin dengan aslinya. Kalaupun ada tiruan, bahan dan garapan harus ditiru dari dokumentasi berupa foto-foto Pura Kentel Gumi yang masih tersimpan.
Pura Agung Kentel Gumi terdiri atas empat halaman utama. Utamaning Utama Mandala terdiri atas 23 pelinggih di antaranya Lingga Reka Bhuwana/Pancer Jagat, Meru Tumpang Solas (pelinggih Ida Sanghyang Reka Bhuwana). Di sisi utara (kompleks pelinggih Bathara Maspahit), terdiri atas enam pelinggih. Pelinggih utama Gedong stana Bathara Maspahit. Di sisi selatan, kompleks pelinggih Batara Masceti, terdapat 9 pelinggih, Gedong merupakan stana Batara Masceti.
Utà ma Mandala - beda dengan utamaning utama mandala. Di sini terdapat sumanggen sebagai ciri utama. Ada juga perantenan suci, dengan ciri pelinggih Lumbung Agung/tempat penetegan. Sedangkan di Madya Mandala (tengah). Di sini terdapat empat pelinggih, salah satunya pelingguh Bale Agung, Gedong Sari stana Batari Saraswati. Nista Mandala (jaba sisi/luar). ada dua Padmasari.
Pelinggih-pelinggih itu bagian dan perluasan Pura Agung Kentel Gumi, yang diawali Mpu Kuturan masa pemenintahan Raja Bali Kuna dan dinasti Warmadewa yakni Raja Udayana Warmadewa dengan permaisuri Putri Mahendradatta. Purana mencatat, setelah Mpu Kuturan, Pura Kentel Gumi diperluas dengan pembangunan pelinggih, menyusul berkuasanya Sri Haji Cili Kresna Kepakisan (bungsu Danghyang Soma Kepakisan) yang diminta Mahapatih Gajah Mada/Majapahit menjadi adipati Bali pasca kalahnya Raja Sri Tapolung di Bedahulu.
Dalam perjalanan menuju Bali, Dalem Cili Kresna Kepakisan tiba di Tusan. Dalem tahu keutamaan tempat suci/parahyangan Kentel Gumi. Bersama pangiringnya, dipimpin Arya Kenceng dan warga, dilakukan perbaikan membangun/menambah pelinggih. Di antaranya Meru Tumpang Solas, Padmasana, Meru Tumpang Sia, Tumpang Pitu, Tumpang Lima, Tumpang Telu dan pelinggih lainnya. Termasuk palinggih dasar sebagai stana Ida Dewi Basundari.
Terlupakannya Tri Guna Pura Agung Kentel Gumi, luput pula ingatan orang tentang salah satu aci (upacara) pokok yang semestinya digelar di Pura Agung Kentel Gumi sesuai fungsinya sebagai Pura Puseh Jagat, yakni Upacara Panyegjeg Jagat (upacara Reka Bhumi). Tersurat dalam sastra — baik purana atau babad — upacara Panyegjeg Jagat digelar ketika Raja Dalem Waturenggong bertahtha di Gelgel sekaligus mengukuhkan Pura Kentel Gumi sebagai Tri Guna Pura. Selain Pura Besakih dan Pura Batur.
Ketika Raja Dalem Waturenggong memerintah, Pulau Bali mencapai kesejahteraan dan ketenteraman. Karena kewibawaan dan keberanian Raja yang diabaratkan Sanghyang Hari Murti bentangan empat (Catur Bhuja). Raja Dalem Waturenggong menggelar yadnya di Khayangan Jagat, Eka Dasa Rudra di Besakih, Pancawali Krama di Batur dan Panyegjeg Jagat di Kentel Gumi. Itu yang kemudian dijadikan acuan digelarnya upacara Panyegjeg Jagat di Pura Kentel Gumi. Diperkirakan, sejak 548 tahun lalu upacara Penyegjeg Jagat tidak pernah digelar. Perkiraan itu dikarenakan Dalem Waturenggong naik tahta tahun 1460.
SELAIN sebagai "Tri Guna Pura", sejumlah hal menarik lainnya juga terdapat di Pura Agung Kentel Gumi. Salah satunya, peninggalan sejarah dan purbakala menurut purana dibangun Mpu Kuturan masa pemerintahan Raja Sri Dharmodayana Warmawadewa-Gunapridharmapatni Makutawangsawardana (Putni Mahendradatta) pada 989 M.
Untuk diketahui, Pura Agung Kentel Gumi menyimpan puluhan area kuno. Ada yang masih utuh, ada juga berupa pragmen. Salah satu fragmen itu, sebuali lingga. Bisa disebut Lingga Reka Bhuwana karena berkaitan dengan sejarah, legenda dan mitologi. Lingga itu terletak di utama mandala. Dengan ukuran sangat kecil dibanding bangunan lainnya yang lebih besar dan menjulcing seperti meru, gedong danlainnya, sulit melihat Lingga Reka Bhuwana tersebut, jika tak diteliti. Letaknya persis di tengah-tengah jeroan pura. Tinggi lingga tak lebih 2 meter. Alasnya (Yoni) sekitar 2 meter persegi.
Namun, bentuknya terlihat lebih unik dibanding Lingga-Yoni umumnya. Lingga-Yoni umumnya berupa selinder berujung bulat. Lingga melambangkan purusa. Yoni berbentuk lesung segi empat sebagai simbol pradana.
Sementara Lingga Reka Bhuwana di Pura Agung Kentel Gumi ujungnya (puncak) tidak bulat, tetapi berbentuk pipih. Badan lingga berbentuk persegi. Begitupun Yoni (alas) Sebagai simbol pradana, sekilas tampak seperti punden berundak. Tidak ada yang tahu persis, terkait bentuk Lingga Reka Bhuwana yang berbeda dibanding Lingga-Yoni pada umumnya. Berdasarkan dugaan, itu dikarenakan berkaitan dengan riwayat (tatwa) Pura Agung Kentel Gumi.
Seorang penekun spiritual, urati lontar/babad/prasasti asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma, menyebutkan lazimnya Lingga-Yoni Reka Bhuwana disebut Linggih Pancer Jagat. Karena diyakini di tempat itulah Mpu Kuturan meletakkan tanda (titik awal) ketika mengawali pembangunan Pura Agung Kentel Gumi.
Berdasarkan purana, pendirian Pura Agung Kentel Gumi erat kaitannya dengan kedatangan Mpu Kuturan pada masa pemerintahan Raja Udayana dan istrinya Putri Mahendradatta. Mpu Kuturan datang ke Bali untuk dimintai nasehat sebagai purohito, menyusul adanya pertikaian antar sekte keagamaan di Bali. Untuk mengatasi itu.
Mpu Kuturan mengundang tokoh sekte dan menggelar pertemuan di sebuah tempat di Gianyar yang sekarang ini merupakan Pura Samuan Tiga. Menyusul kesepakatan leburnya paham sekte, disepakati juga pemujaan Batara Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa). Dan sini juga muncul konsep Kahyangan Tiga dan desa pakraman.
Sebuah lokasi, sekarang kawasan Pura Agung Kentel Gumi, dipilih Mpu Kuturan sebagai tempat yoga semadi. Berkat kesidhiannya, sosial keagamaan masyarakat Bali jadi kondusif, kokoh. Bebas dan pertikaian antar sekte. Itu yang kemudian disimbolkan dengan Linggih Pancer Jagat—berupa Lingga-Yoni khas Pura Agung Kentel Gumi.
Pura Agung Kentel Gumi juga menyimpan keunikan lain berkaitan dengan kepurbakalaan, Lusinan benda purbakala berupa area, fragmen area, pratima ada di sana. Untuk sementara disimpan di Gedong Murda Manik (palinggih sementara) sambil menunggu tuntasnya pemugaran. Selanjutnya dikembalikan pada pelinggih masing-masing, di mana benda-benda sakral itu berada sebelumnya.
Paling mencolok, bentuk area batu dengan catur muka (wajah ke empat penjuru mata angin). Ukurannya lebih besar dibanding area lain. Tingginya diperkirakan 1,2 meter. Berwarna keabu-abuan berbahan batu andesit selayaknya area kuna umumnya. Namun, tak ada yang tahu secara jelas, makna area tersebut terkait dengan keberadaan Pura Agung Kentel Gumi. Meski demikian, mengingat pura sebagai tempat suci/pemujaan Ida Sang Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya, bukan hal yang salah area Catur Muka dimaksudkan sebagai penggambaran Dewa Brahma/Brahma Catur Muka. Dalam pemahaman Hindu, Dewa Brahma merupakan manisfestasi Tuhan Yang Maha Esa yang berwajah empat.
PURA Agung Kentel Gumi di Desa Tusan Kecamatan Banjarangkan, Klungkung adalah Pura Kahyangan Jagat sebagai media pemujaan Tuhan dengan sebutan Sang Hyang Reka Bhuwana atau disebut juga Sang Hyang Pancering Jagat. Manifestasi Tuhan
dengan sebutan lokal Bali itu dipuja di Meru Tumpang Sebelas. Menurut Yajurveda XXXII.3 Tuhan itu tidak punya bentuk seperti ciptaan-Nya (Na tasya pratima asti). Para Vipra atau orang-orang suci yang ahli (Brahmana Sista) itulah yang menyebutkan dengan banyak nama —Ekam sat vipra bahuda badanti.
Demikian dinyatakan dalam Veda bahwa tujuan pemujaan pada Tuhan Yang Maha Esa dengan teguh adalah untuk mewujudkan kehidupan yang makmur secara adil. Hal ini dinyatakan dalam Atharvaveda VIII.2.25. Karena itu pemujaan pada Tuhan bukan untuk membuat umat semakin menderita. Karena itu Mantra Veda yang dikutip di atas menyatakan bahwa bumi ini diciptakan oleh Tuhan sebagai wadah kehidupan semua makhluk hidup. Apa yang boleh, baik dan benar dilakukan di bumi ini dinyatakan dalam mantra Atharvaveda, XII, 1.1.
Untuk melakukan perbuatan yang menjunjung kehidupan yang baik dan benar tidaklah mudah. Karena itu umat seyogianya memuja Tuhan untuk mendapatkan penguatan diri lahir bathin. Dalam hal inilah Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Reka Bhuwaria di Pura Kentel Gumi di Desa Tusan, Klungkung. Reka Bhuwana artinya suatu perencanaan matang yang seyogianya dilakukan di bhuwana atau bumi ini. Di Pura Agung Kentel Gumi ada upacara Reka Bhumi suatu upacara yadnya yang wajib dilakukan.
Tujuan upacara Reka Bhumi ini untuk mendapatkan Penyegjeg Jagat. Artinya, untuk mencapai tegaknya kehidupan dibumi ini. Ada enam hal yang wajib dibumi ini agar Ibu Pertiwi jegjeg yaitu Satya, artinya kebenaran Veda yang bersifat Sanatana Dharma yaitu kebenaran yang kekal abadi. Kebenaran yang disebut Satya itu adalah dasar untuk berperilaku untuk menuju jalan Tuhan. Berperilaku itu adalah berpikir, berkata dan berbuat menuju jalan Tuhan.
Dalam Slokantara 2 ada dinyatakan bahwa Satya itu lebih utama nilainya daripada seratus Suputra. Seorang Suputra seratus kali lebila utama nilainya daripada seratus kali upacara yadnya. Yakinlah kalau senantiasa berpegang dengan Satya hidup ini pasti mendapatkan anugerah atau karunia dan Tuhan.
Rta artinya hukum alam. Hiduplah dengan menggunakan sumber-sumber alam dengan tidak melanggar hukum alam itu sendiri. Alam ini terbentuk dan Panca Maha Bhuta yaitu tanah, air, udara, panas dan akasa. Swami Satya Narayana dalam buku "Anandadayi" menyatakan bahwa kejahatan yang paling besar di bumi ini adalah merusak unsur-unsur alam tersebut. Menggunakan sumber-sumber energi alam ini secara berlebihan akan menimbulkan kebakaran. Kalau langit atau akasa itu dikotori akan meñyebabkan manusia menderita penyakit gangguan mental, bahkan penyakit gangguan jiwa.
Semuanya ini memang sudah terbukti Sekarang banyak teijadi kebakaran hutan, panas menyembur clan dalam tanah, suhu bumi semakin meningkat dan berbagai kerusakan alam lainnya. Prof. Dr. Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup RI, menyatakan sudah terjadi sepuluh kerusakan muka bumi ini. Hal ini disebabkan bergesernya hidup manusia modern dari needs ke wants. Artinya, hidup berdasarkan kebutuhan telah bergeser berdasarkan keinginan.
Keinginan itu tak ada batasnya. Diksa artinya penyucian atau pemberkatan. Dalam anti proses hendaknya setiap orang terus berusaha meningkatkan kesucian dininya dengan berusaha menguatkan kesadaran budhi-nya untuk mencerahkan kecerdasan pikirannya. Pikiran yang cerdas berfungsi mengendalikan indriya atau nafsunya. Nafsu yang terdidik dan terlatih itulah akan mengekspresikan perilaku suci. Kalau hal itu sudah dapat dicapai dan dibuktikan barulah dilakukan ritual diksa atau pentasbihan sebagai diksita. Melakukan diksa ini bukanlah hak suatu wangsa tertentu. Diksa itu adalah kewajiban dan hak setiap umat Hindu dengan tidak melihat asal-usul wangsa-nya.
Tapa artinya secara denotatif dalam bahasa Sansekerta adalah panas atau bersinar. Secara konotatif artinya pengendalian diri dengan cara membangkitkan kekuatan sinar Sang Hyang Atma dalam diri. Kalau sinar Atman dapat dilepaskan dan halangan kuatnya gejolak hawa nafsu maka tujuan tapa untuk mengendalikan diri itu dapat terwujud. Dengan tapa itu keinginan nafsu yang disebut Wisaya Kama itu dapat diubah menjadi Sreya Kama yaitu keinginan untuk selalu mendekatkan diri sesuai dengan tuntutan Tuhan.
Menunut Ayur Veda hal itu akan dapat dicapai dengan mengendalikan makanan, gaya hidup dan kesehatan fisik (Ahara, Wihara dan Ausada). Brahma artinya menumbuhkan diri dengan doa. Kata "brahma" dalam bahasa Sansekerta berasal dan akar kata "brh" artinya tumbuh atau mencipta. Karena itu sinar suci Tuhan dalam menciptakan disebut Dewa Brahma. Berdoa dengan melapalkan mantra-mantra Weda dengan tekun sebagai puja stawa akan dapat menguasai kesadaran budhi, kecerdasan pikiran dan kepekaan emosional dalam kesucian mantra Weda tersebut.
Candogya Upanishad menyebutkan, setiap han usahakan berdoa pagi saat raditya dina, siang saat madya dina dan sore saat sandhya dina. Yadnya artinya suatu keikhlasan untuk melakukan pengorbanan untuk tujuan yang suci. Inilah merupakan unsur yang utama dalam melangsungkan upacara keagamaan Hindu. Upacara dalam bahasa Sansekerta artinya mendekat. Karena itu, upacara yadnya itu dilakukan dengan mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara bakti.
Mendekatkan diri pada sesama manusia dengan punia atau pengabdian. Mendekatkan diri pada alam lingkungan asih. Asih, punia dan bhakti inilah landasan melakukan yadnya. Yadnya itu bentuknya bukan upacara keagamaan semata-mata. Dengan menghemat penggunaan sumbersumber alam itu juga suatu yadnya. Tidak memaksakan kehendak itu juga yadnya. Mengendalikan hawa nafsu juga yadnya.
Dengan melakukan enam langkah yang disebut Sat Pertiwi Dharyante (enam upaya menyangga ibu pertiwi inilah sebagai upaya Reka Bhuwana mewujudkan Jejeg Jagat. Inilah yang terus-menerus dimohonkan pada Tuhan lewat Pura Kentel Gumi. Di Pura Besakih juga dilangsungkan upacara Penyejeg Jagat di Pura Gelap dan Pengurip Bumi di Pura Ulun Kulkul. Diambil dari berbagai sumber.