Notifikasi

Memuat…

Filosofi Ngaturang Ayah Orang Bali

Semeton krama Bali akan merasa sangat bergairah jika mendapat kesempatan ngaturang ayah. Ada suatu kekuatan yang mendorong atau menarik dirinya untuk bergerak saat ngaturang ayah sehingga tidak merasakan kelelahan. Ngaturang ayah bisa dalam bentuk bekerja (gae), bisa dalam bentuk megambel (menabuh), bisa dalam bentuk ngigel ( menari ), matembang ( menyanyi) atau apa saja. Ngaturang ayah bisa untuk Ida Bethara di pura, bisa untuk krama di Banjar, bisa untuk sameton di Paibon. Apapun bentuknya ,dimanapun tempatnya, prinsip ngaturang ayah menyimpan makna bahwa semeton krama Bali suka bekerja sosial, saling asah saling asuh salunglung sabayantaka. Ngaturang ayah mengandung filosofi suka bekerja dengan ikhlas, suka bekerja tanpa mengharapkan hasilnya. Bekerja untuk Yadnya.

Sesuai dengan apa yang tercantum dalam Bhagawad Gita ketika Krisna berkata pada Arjuna “ Bekerjalah kamu dan bukan pada hasil dari karyamu “ , artinya bekerjalah tanpa beban, tanpa tekanan, tanpa stress, tanpa target, tanpa terpusat pada tujuan. Target, tujuan, adalah beban adalah stress yang akan menguras banyak energy. Oleh karena itu bekerjalah karena pekerjaan itu sendiri, demi pekerjaan itu sendiri dan untuk pekerjaan itu sendiri. Itulah etos yang tersirat dalam ngayah

Kerjakanlah dengan sebaik-baiknya pekerjaan itu, dengan segala ketenangan dengan seluruh kemampuan yang ada , jangan terganggu kosentrasinya oleh iming-iming nilai hasil yang dicapai. Maka pekerjaan itu akan melahirkan sebuah masterpiece.

Disinilah kuncinya kenapa semeton krama Bali melahirkan karya-karya masterpiece. Karya seni yang membuat setiap orang berdecak kagum. Karya seni disegala lini. Budaya yang mempesona , the endless art. Kalau kita kehilangan etos kerja ngayah maka kita hanya menjadi pewaris sebuah budaya mengagumkan, kita hanya menjadi penonton puing-puing reruntuhan sebuah budaya mempesona. Sebuah misteri dunia. Kita bukan lagi menjadi pelaku budaya itu, apalagi pencipta. Kita hanya sebagai pengulang, peniru saja. Taksunya telah hilang , rohnya telah terbang.

Ini bukan pelestarian budaya. Budaya bukan tanaman langka, bukan satwa langka yang bisa punah. Budaya tidak butuh pelestarian. Budaya harus dihidupi, budaya adalah kehidupan, adalah sebuah dinamika yang hidup. Budaya adalah sebuah lautan kehidupan. Kalau ingin menyelami maka kita harus terjun dan hidup didalamnya. Hiduplah sebagai semeton krama Bali, hiduplah dengan konsep hidup semeton krama Bali, hiduplah dengan Tri Hita Karana, berpusatlah kepada Prahyangan dan lakoni prinsip ngaturang ayah. Maka taksu budaya itu akan hidup lagi, akan mengalir lagi seperti mata air yang tak pernah berhenti. Budaya itu akan tumbuh dan mengembang harum dan semerbak.

Prinsip ngaturang ayah bukan hanya berlaku untuk di Pura, di Banjar. Tapi disetiap pekerjaan, baik sebagai guru, baik sebagai tenaga kesehatan, sebagai karyawan perusahan, tentara, polisi, guide dan sebagainya. Kita mengabdi pada pekerjaan itu sendiri. Semua pekerjaaan mulia adanya. Tidak ada pekerjaan yang hina. Sepanjang etos ngaturang ayah dilakoni.

Alam ini selalu mendorong orang untuk bekerja, pekerjaan itu adalah untuk alam sendiri, manusia sebagai pelakunya. Kalau manusia bekerja untuk dirinya sendiri, untuk kelompoknya sendiri maka ia akan mengacuhkan alam ini, ia akan cendrung dekstruktif, cendrung merusak, ia cendrung serakah, cendrung tidak berkualitas, cendrung tidak berbudaya.

Di tengah-tengah orang-orang bodoh seperti itu maka taksu pekerjaan itu hilang, cahaya budaya itu sirna. Orang –orang itu tidak menyadari bahwa hidupnya hanya sementara, sebenarnya ia hanya memindahkan sesuatu materi dari tumpukan yang satu ke tumpukan yang lain. Ia tidak menggali nilai, ia tidak merengkuh nilai, ia tidak menemukan nilai. Kadang –kadang saat ini menumpukan lebih banyak, tapi besok akan kehilangan lebih banyak. Hidup ini seperti roda yang berputar. Kadang- kadang diatas, kadang –kadang dibawah. Semeton krama Bali tidak banyak yang kepincut dengan permainan anak-anak seperti ini. Makanya semeton krama Bali selalu seimbang baik diatas maupun dibawah. Dalam bekerja semeton krama Bali selalu mencari nilai, mencari budaya, mencari jati diri. Menemukan nilai-nilai dirinya dalam pekerjaan. Menjadi professional. Bukan bermain kanak-kanak Semeton krama Bali tidak akan menumpuk kekayaan lewat korupsi. Semeton krama Bali tidak akan membabat hutan untuk menjadi kaya. Kecuali mereka telah keluar dari garis edar krama.

Mengabdikan diri pada pekerjaan demi pekerjaan itu sendiri adalah proses yoga. Adalah sebuah proses meditasi. Adalah sebuah proses tapa. Adalah proses pendidikan diri, proses evolusi rochani, proses pembebasan dari suka dan duka, proses menemukan nilai, proses menuju kebahagiaan.

Karena jika orang bekerja demi untuk pekerjaan itu sendiri, maka ia akan menemukan jati dirinya, menemukan warna hidupnya, menemukan nilai-nilai luhur Pawongan dalam dirinya, menemukan kepuasan dan kebahagiaan. Jika nilai-nilai mulia Pawongan ini tidak ditemukan dalam pekerjaan maka orang akan jenuh, bosan dan merasa muak dengan pekerjaannya. Pekerjaannya menjadi tidak berkualitas, pekerjaan sekedar hanya memenuhi tuntutan atasan, tugas perusahan. Pekerjaan tidak mengembang. Karena pekerja tidak menemukan dirinya, tidak menemukan sisi kemanusiaannya disitu, Dia merasa sebuah mesin, sebuah robot otomatis. Berapapun gaji imbalan yang diprolehnya, jika ia tidak menemukan sisi kemanusiaan dirinya dalam pekerjaan itu maka ia akan menjadi jenuh, bosan atau sakit. Orang akan merasa puas jika dapat mengekspresikan nilai-nilai luhur kemanusiaan dalam pekerjaan.

Menurut semeton krama Bali nilai-nilai tersebut antara lain: Polos atau nilai kejujuran. Jemet nilai kerendahan hati atau nilai kedisiplinan. Darma nilai tanggung jawab. Tresne nilai kebersamaan Bakthi nilai keiklasan.

Demikian ngaturang ayah adalah mengabdikan diri terhadap pekerjaan. Bekerja untuk pekerjaan itu sendiri. Karena pekerjaan itu adalah Titah. Adalah mandat. Titah Sang Hyang Kawi. Apapun pekerjaan semeton, apapun profesi semeton, dimanapun semeton bekerja semua itu adalah titah Sang Hyang Kawi. Lakukan pekerjaan itu dengan sebaik-baiknya, jangan menyalah gunakan mandat. Ketahuilah bahwa Hyang Widhi bersama semeton dalam pekerjaan itu. Beliau sedang menguji apakah semeton tidak menyalah gunakan mandat. Apakah semeton tidak melanggar titah. Jika semeton teguh dalam tugas tersebut, maka semeton akan menemukan keajaiban-keajaiban yang sulit dijelaskan dengan akal. Itu berarti semeton sudah semakin dekat denganNYA. Dengan Sang Maha Pengasih. Demikian Tuhan adalah maha rahasia. The God is super silence. Bekerja dengan etos ngaturang ayah adalah sebuah jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Demikianlah menjadikan pekerjaan sebagai sebuah meditasi. Semeton krama Bali tidak membuat padepokan-padepokan meditasi, tidak membuat pondok-pondok meditasi. Semeton krama Bali tidak duduk diam menikmati meditasi. Tetapi semeton krama Bali mengaplikasikan meditasi dalam pekerjaan dalam kehidupan. Menghidupkan meditasi. Menghidupi meditasi. Hidup dalam meditasi. Stata astiti bhakti ring Hyang Widhi, stata ngaturang ayah, stata mebanten, stata meYadnya, melaksakan Tri Kaya Parisudha, melaksanakan Tri Hita Karana adalah life meditation. Adalah meditasi itu sendiri.

Begitu pula semeton krama Bali tidak mendirikan pusat-pusat kotbah/ darma wacana dan pengajian, karena orang yang memberikan kotbah/ darma wacana sebenarnya mundur satu langkah dibidang rohani dari pada orang yang duduk diam mendengarkannya. Kesadaran tidak bisa diajarkan. Kesadaran tidak bisa ditransfer lewat kotbah. Agama bukan pelajaran sejarah. Kesadaran hanya bisa ditransfer lewat perbuatan nyata. Conciusnes can only be transferred by action. Sampai berbuihpun mulut orang yang memberikan kotbah kesadaran tetap tidak bisa ditransfer. Hal ini menyebabkan Ida Pedanda, Ida Pinanditha, para Pemangku mengajarkan kesadaran lewat perbuatan nyata. Kebaikan bukanlah kata-kata, tetapi tangan –tangan yang berlepotan keringat memberikan pertolongan jauh lebih mulia dari pada mulut yang komat-kamit membacakan doa. Dan inilah juga sulitnya menjadi orang tua , menjadi guru Rupaka atau guru kehidupan karena harus menjadi suri teladan hidup bagi putra putrinya. Penulis

Baca Juga
Posting Komentar